Wednesday, March 18, 2009

Menurut Standar Industri Indonesia (SII), batik adalah bahan tekstil yang diberi warna dan motif khas Indonesia, dengan menggunakan alat melukis khusus dan lilin batik sebagai bahan perintang warna. Alat untuk melukisi kain itu dapat berupa canting, bilah kayu, dan kuas.
Pada umumnya di Jawa, digunakan alat canting untuk membatik. Fungsi canting adalah untuk membentuk motif atau corak batik. Ada beberapa jenis canting yang diberi nama sesuai dengan fungsinya sebagai berikut:
Canting isen-isen, yaitu canting yang dipakai untuk mengisi ruang-ruang kecil di dalam motif. Canting isen-isen bertapak titik atau garis kecil. Canting ini terdiri atas beberapa jenis, yaitu: canting cecek siji (dipakai untuk membuat satu titik), canting carat loro (dipakai untuk membuat garis sejajar), canting cecek loro (dipakai untuk membuat dua titik), canting cecek telu (dipakai untuk membuat tiga titik), dan canting cecek pitu (dipakai untuk membuat tujuh titik).
Canting klowongan, yaitu canting yang dipakai untuk membuat garis batas motif. Tapak canting klowongan lebih besar daripada canting isen-isen. Ada tiga jenis canting klowongan yaitu canting klowongan halus (diameter 1 mm), canting klowongan sedang (diameter 1,5 mm), dan canting klowongan besar (diameter 2 mm).
Canting popokan, yaitu canting yang digunakan untuk menutup bidang pada motif. Tapak canting ini lebih besar daripada canting klowongan. Jenis-jenis canting popokan adalah sebagai berikut: canting popokan halus (diameter 2,5 mm), canting popokan sedang (diameter 3 mm), dan canting popokan kasar (diameter 3,5 mm).
Canting dodosan, yaitu canting yang dipakai untuk menutup latar di sela-sela bidang motif yang renggang. Canting dodosan ini berdiameter kira-kira 3,5 mm.
Selain canting, digunakan juga alat yang disebut tonyok, yaitu alat yang dibuat dari himpunan berkas-berkas benang yang dimasukkan dalam lubang buluh kecil (sekitar 2-3 mm). Tonyok berguna untuk menutup latar yang lebar. Aktivitas membatik dikendalikan secara langsung oleh tangan. Oleh karena itu, batik dapat disebut hasil kerajinan tangan.
Pengertian kata batik, dapat juga ditemukan dalam kamus Belanda Van Dale Nieuw Handwoordenboek der Nederlandse Taal yang menjelaskan bahwa kata “battiken is Indonesische methode om weefsels in figuren te verven” (cara orang Indonesia untuk memberi warna pada kain dalam bentuk motif-motif atau gambar-gambar). Produk dari aktivitas battiken itu disebut batik. Dari pengertian yang dikemukakan dalam kamus Belanda itu, dapat kita ketahui bahwa bangsa Belanda yang pernah berkuasa di Indonesia selama berabad-abad, telah mengakui bahwa batik adalah budaya Indonesia asli.
Sejak kapan bangsa Indonesia melakukan aktivitas membatik, sulit diketahui secara pasti, namun dari prasasti dari abad ke-10, dapat diketahui bahwa pada masa itu di wilayah Kerajaan Mataram Hindu sudah ada kegiatan membatik. Sebagai contoh, dari Prasasti Gulung-gulung (929 M.) dapat diketahui bahwa pada abad ke-10 di Jawa sudah ada usaha kerajinan kain dan batik. Langkah-langkah pembuatan kain dan batik disebutkan dalam prasasti tersebut antara lain sebagai berikut: wusu-wusu (menyisir kapas untuk menghilangkan bijinya), anggumarang (membuat kain), mangragi (membuat corak tertentu pada kain untuk pejabat istana), mamukat mengkudu (mewarnai kain dengan akar mengkudu untuk mendapatkan warna merah), manyula mengkudu (menyelup kain dengan akar mengkudu), dan mangubar (menyelup kain untuk memberi warna yang berpijar).
Keterangan pada prasasti tersebut di atas menunjukkan bahwa metode pembuatan kain dan batik sudah dimiliki oleh orang Indonesia sejak ratusan tahun silam, jauh sebelum kedatangan pengaruh kebudayaan Cina dan Barat.
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, sangat menarik untuk dipertanyakan sejak kapankan orang Semarang melaksanakan aktivitas membatik? Bagaimana perkembangannya dan apa ciri-ciri batik Semarang itu? Dalam artikel ini dikemukakan pembahasan tentang perjalanan sejarah Batik Semarang dengan berbagai motif dan nilai filosofinya.

Batasan Pengertian Batik Semarang
Dalam upaya untuk memperkuat identitas dan kepribadian bangsa, banyak daerah di Indonesia telah mendeklarasikan identitas budaya melalui media batik, sebagai contoh: Batik Pekalongan, Batik Demak, Batik Kudus, Batik Rembang, Batik Lasem, Batik Sragen, Batik Banyumas, Batik Jogja, Batik Solo, dan sebagainya.
Semarang, sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah, belum pernah mendeklarasikan diri secara resmi tentang kekayaan budayanya dalam bidang batik. Padahal, Semarang memiliki warisan budaya batik yang telah menempuh lintasan sejarah yang panjang, sehingga telah mengalami kristalisasi nilai-nilai serta ciri-ciri yang khas dan unik.
Sebelum memasuki penelusuran jejak-jejak sejarah batik Semarang, perlu diperjelas batasan pengertian batik Semarang sebagai berikut: “Batik Semarang adalah batik yang diproduksi oleh orang atau warga Kota Semarang, di Kota Semarang, dengan motif atau icon-icon Kota Semarang”.

Menelusuri Jejak-jejak Sejarah Batik Semarang
Petunjuk pertama yang dapat dijadikan acuan untuk menelusuri jejak-jejak sejarah batik di Kota Semarang adalah keberadaan Kampung Batik di dekat kawasan Bubakan. Menurut Serat Kandhaning Ringit Purwo naskah KGB Nr. 7, pada tahun 1476 Ki Pandan Arang I telah menetap di pulau Tirang. Peristiwa itu ditandai dengan candra sengkala Awak Terus Cahya Jati. Kemudian dikisahkan juga bahwa Ki Pandan Arang membuka tempat pemukiman baru di daerah pegisikan (pantai). Menurut tradisi Semarang, tempat itu diberi nama Bubakan yang berasal dari kata bubak, yang berarti membuka sebidang tanah dan menjadikannya sebagai tempat pemukiman. Di tempat ini Ki Pandan Arang I menjabat sebagai juru nata (pejabat kerajaan) di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Karena kawasan Bubakan menjadi tempat tinggal sang juru nata, tempat tersebut juga dikenal dengan Jurnatan.[4]
Suatu hal yang lazim di Jawa adalah bahwa di sekitar pusat-pusat kekuasaan kuno terdapat kampung-kampung (toponim) yang diberi nama sesuai dengan profesi atau mata pencarian penduduknya. Profesi penduduk itu muncul sebagai akibat logis dari permintaan
pasar dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tinggal di wilayah pusat-pusat pemerintahan itu. Beberapa toponim yang terletak di pusat pemerintahan Semarang kuno (di sekitar Bubakan) adalah: Kampung Batik (tempat perajin batik), Pedamaran (tempat perdagangan damar/bahan pewarna batik), Sayangan (tempat perajin alat-alat rumah tangga dari logam/tembaga), Petudungan (tempat perajin caping), Kulitan (tempat perajin/pengusaha kulit), Petolongan (tempat tukang-tukang talang), Gandekan (tempat perajin emas), Gendingan (tempat pembuat gamelan), dan sebagainya.
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas, dilakukan penelusuran sumber sejarah di Kampung Batik dengan metode sejarah lisan. Beberapa informan sesepuh di kampung itu membenarkan bahwa dulu Kampung Batik memang pernah menjadi sentra perajin batik sampai dengan masa penjajahan Jepang (1942-1945). Menurut Jamini, sesepuh di Kampung Batik, perajin batik tidak hanya berasal dari Kampung Batik, tetapi juga dari Kampung Kulitan, Bugangan, Rejosari, dan lain-lain. Dari penuturan Ibu Tien Wahono, dapat diketahui bahwa dulu di Kampung Batik terdapat seorang juragan batik besar, bernama Ibu Darso, yang memasarkan batik-batik dari kampung Batik ke Pasar Djohar. Tien Wahono juga memberi kesaksian bahwa nenek, ibu, bude, dan bulik-nya adalah perajin batik di Kampung Batik.
Pada awal abad ke-20, ada suatu laporan penelitian yang menyatakan bahwa banyak penduduk pribumi di Kota Semarang bermatapencarian di sektor industri kerajinan yaitu: kerajinan batik, pembuatan pewarna batik, pembuatan alat-alat rumah tangga dari logam, kerajinan kulit, pembuatan pakaian, pembuatan gamelan, dan gerobag atau kereta. Bukti lain, yang menunjukkan bahwa di Semarang pernah berkembang cukup pesat industri-industri kerajinan batik adalah laporan pemerintah kololonial Belanda (Koloniaal Verslag) tentang keberadaan industri-industri di berbagai keresidenan di Jawa pada perempat pertama abad ke-20.
Peningkatan jumlah perajin batik di Kota Semarang pada waktu itu disebabkan oleh terutama kondisi krisis ekonomi setelah Perang Dunia I. Impor tekstil dari India, Belanda dan Inggris terhenti, sehingga penduduk berusaha untuk memenuhi sendiri kebutuhan akan bahan sandang dengan cara membatik, yang merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh kain dengan motif-motif yang dikehendaki. Perlu diketahui bahwa ketika itu di Indonesia belum membudaya sistem cap, apalagi sistem printing yang baru berkembang pada era 1970-an.
Kedatangan Jepang di Semarang pada tahun 1942 telah melumpuhkan banyak aktivitas ekonomi di Kota Semarang, termasuk sektor batik. Ketika tentara Jepang akan memasuki Kota Semarang, pemerintah Belanda di kota ini memberikan instruksi secara diam-diam kepada penduduk untuk membumihanguskan tempat-tempat yang memiliki potensi ekonomi, seperti gudang-gudang, pelabuhan, toko-toko, sentra-sentra industri, dan lain-lain. Kampung Batik pun menjadi sasaran pembakaran, meskipun belum seluruhnya musnah.
Surutnya kegiatan membatik di kampung batik diperparah oleh peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang antara pemuda Indonesia dan tentara Jepang yang berlangsung pada 15-19 Oktober 1945. Pada tanggal 15 Oktober 1945 tentara Jepang membakar rumah-rumah penduduk di kampung-kampung di Kota Semarang, meliputi: Kampung Batik, Lempongsari, Depok, Taman Serayu, Pandean Lamper, dan lain-lain. Karena peristiwa pembumihangusan itu, seluruh peralatan membatik di Kampung Batik ikut terbakar, dan kegiatan membatik di kampung itu pun terhenti.
Pembakaran Kampung Batik itu, ternyata, tidak melumpuhkan usaha di sektor batik. Di Kota Semarang, masih bertahan hidup perusahaan batik milik orang Cina peranakan di Kampung Bugangan. Perusahaan ini berkembang sejak awal abad ke-20 sampai dengan tahun 1970-an, bernama “Tan Kong Tien Batikkerij”. Pemilik perusahaan bernama Tan Kong Tien, yang menikah dengan Raden Ayu Dinartiningsih, salah satu keturunan Hamengku Buwana III dari Kesultanan Jogjakarta.
Tan Kong Tien adalah salah seorang putera dari Tan Siauw Liem, seorang tuan tanah di Semarang, yang mendapat gelar mayor dari pemerintah Hindia Belanda. Kekayaan tanahnya meliputi kawasan Bugangan sampai Plewan, seluas 90 ha. Karena kekayaan itu, tidaklah mengherankan jika putera Tan Siauw Liem itu diambil sebagai menantu oleh sultan di Jogjakarta.
Tan Kong Tien memperoleh keahlian membatik dari istrinya yang masih kerabat keraton Jogja itu. Keahlian dalam pengelolaan usaha batik diturunkan kepada puteri Tan Kong Tien, Raden Nganten Sri Murdijanti, yang meneruskan perusahaan Tan Kong Tien sampai dengan tahun 1970-an. Setelah kemerdekaan Indonesia, Raden Nganten Sri Murdijanti memperoleh hak monopoli batik untuk wilayah Jawa Tengah dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI).
“Batikkerij Tan Kong Tien” memiliki banyak pegawai yang digolongkan dalam fungsi-fungsi sebagai berikut: carik (pembuat desain motif batik), pembatik, dan tukang celup. Jumlah pembatik di perusahaan itu cukup banyak, berasal dari kampung-kampung Rejo sari, Kintelan, Kampung Batik, Karang Doro, Mlaten Trenggulun, Kampung Darat, dan Layur.Pemesan batik pada masa kolonial Belanda berasal dari kalangan pejabat pemerintahan, para turis, dan pedagang. Produk-produk yang dipesan berupa jarit/nyamping, selendang, dasi, dan topi. Pada tahun 1970, perusahaan batik Tan Kong Tien surut, karena tidak ada lagi generasi penerusnya.
Pada tahun1950-an, di Kota Semarang juga terdapat perusahaan batik “ASACO” yang bertempat di Jalan Senjoyo II No. 13. Akan tetapi, sampai saat ini jejak-jejak sejarahnya belum terungkap.
Pada tahun 1980 muncul perusahaan batik “Sri Retno”, bertempat di Jati Ngaleh. Motif-motif batiknya bervariasi, namun juga memproduksi batik dengan icon Kota Semarang, seperti Tugu Muda.
Pada tahun 2000, tumbuh dan berkembang di kawasan Tembalang, di perumahan Bukit Kencana, perusahaan batik “Umizie”, yang pada pertengahan tahun 2006 berganti nama “Sanggar Batik Semarang 16”. Selain memproduksi batik dengan motif-motif Semarang kuno (dari abad ke-19), sanggar batik ini pun menghasilkan batik dengan icon-icon Kota Semarang, seperti: Tugu Muda Kiniteran Sulur, Asem Arang, Lawang Sewu, Kawung Semawis, dan lain-lain. Untuk memperlancar produksi, “Sanggar Batik Semarang 16” juga mengusahakan sistem cap agar dapat menghasilkan tekstil dengan motif batik, dalam jumlah lebih banyak dan dengan harga yang lebih murah.
Pada tahun 2007, lahir usaha batik “Batik Semarang Indah” di Kampung Batik. Usaha batik ini merupakan salah satu hasil dari kegiatan pelatihan membatik di Kampung Batik, yang diselenggarakan oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kota Semarang pada bulan Juni-Juli 2006. Motif-motif batik yang dihasilkannya adalah terutama motif-motif Semarang, baik yang tradisional maupun kontemporer.

Motif Batik Semarang
Secara umum dapat diidentifikasi, bahwa ciri-ciri motif batik Semarang tidak berbeda jauh dengan motif batik di kota-kota pesisir utara pulau Jawa. Ciri-ciri yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: bebas atau tidak terikat pada aturan-aturan tertentu, ragam hias flora dan fauna, ragam hias besar dan tidak rinci, serta warna cerah menyolok.
Meskipun ada persamaan ciri-ciri motif batik Semarang dengan batik pesisir lainnya, namun jika diamati secara teliti, ada juga detail perbedaannya. Perbedaan itu dapat dilihat antara lain pada detail-detail sebagai berikut:

Warna dasar batik
Pada umumnya batik Semarang berwarna dasar oranye kemerahan, batik Demak berwarna coklat muda, dan Kudus berwarna dasar biru.

Motif batik dengan pengaruh budaya Cina
Pada umumnya batik Semarang menampilkan motif fauna yang lebih menonjol dari pada flora, contohnya: merak, kupu-kupu, jago, cendrawasih, burung phunix, dan sebagainya. Motif-motif ini tidak terlepas dari pengaruh budaya Cina. Batik di kota-kota pesisir lainnya, seperti Pekalongan, lebih menonjolkan motif flora, seperti: buket, lung-lungan, bunga cempaka, dan sebagainya. Tampaknya, unsur budaya Eropa ikut menentukan dalam pembentukan motif batik Pekalongan, karena di kota itu pada paroh ke-2 abad ke-19 pernah berdiri banyak perusahaan batik yang dikelola oleh orang Eropa, seperti: L. Meetzelaar, Christina Van Zuylen, Wollweber, J. Jans, dan lain-lain. Seperti kita ketahui bahwa orang Eropa, khususnya Belanda, selalu mengatakan cinta dengan bunga (say love with flower), sehingga konsepsi ini pun tertuang dalam desain-desain motif batik Pekalongan.

Ciri-ciri motif batik Semarang dapat disimak juga melalui penuturan Ibu Jamini, seorang sesepuh di Kampung Batik. Menurutnya, dulu banyak warga Kampung Batik melakukan kegiatan membatik dengan motif-motif yang sesuai dengan kehendak perajin sendiri. Jadi, mereka membatik tanpa motif yang baku seperti di daerah Surakarta dan Yogyakarta. Dulu, orang Semarang membatik untuk dipakai sendiri. Dengan demikian, motif batik Semarang tergantung pada keinginan, imajinasi, ekspresi, dan kreasi pembatik. Rakyat Semarang tidak pernah membakukan motif dan nama batik seperti batik di vorstenlanden (kerajaan Surakarta dan Jogjakarta), contohnya: Sido Mukti, Sido Luhur, Sekar Jagat, Parang Kusumo, Parang Barong, Truntum, Babon Angrem, Kawung, dan sebagainya.
Pada umumnya, orang Semarang tempo dulu membatik dengan motif yang bersifat naturalistik (fauna dan flora) serta realistik (ikan, kupu-kupu, burung, ayam, bunga, pohon, bukit, dan rumah), tidak simbolis seperti batik-batik di Surakarta dan Jogjakarta. Dari penelitian, dapat diketahui bahwa motif naturalistik dan realistik menjadi ciri khas batik yang diproduksi oleh masyarakat pesisir utara Jawa. Ciri ini dapat dimaknai sebagai karakter masyarakat pesisir yang lebih terbuka, bebas, dan lebih ekspresionis jika dibandingkan dengan masyarakat pedalaman Jawa (Surakarta dan Jogjakarta) yang lebih dilingkupi oleh sistem simbol, norma-norma, dan aturan-aturan di bawah kekuasaan raja.


Nilai Filosofis Batik Semarang
Berdasarkan penuturan Slamet Sutarno (sekarang sudah wafat), pensiunan pegawai RRI Semarang, orang-orang Semarang tempo dulu sangat menyukai motif burung merak dengan latar perbukitan dan pohon bambu.
Setelah diteliti lebih mendalam, ternyata motif ini merupakan pengaruh dari kebudayaan Cina, yang mempercayai bahwa burung merak dan bambu memiliki nilai filosofi yang sangat bagus untuk kehidupan.
Berdasarkan A Dictionary of Chinese Symbols, burung merak merupakan lambang keagungan, keindahan, pelindung keturunannya dari segala bahaya, serta dapat mengusir pengaruh-pengaruh buruk. Oleh karena makna yang bagus itu, gambar burung merak sering digunakan sebagai hiasan busana kebesaran pejabat-pejabat kerajaan. Rumpun bambu, yang dalam bahasa Cina disebut Zhu, adalah lambang permohonan doa. Pohon bambu juga memiliki ruas-ruas yang merupakan simbol silsilah. Jika ruas yang paling bawah bagus, ruas-ruas di atasnya pun bagus. Kondisi ini melambangkan bahwa orang tua yang bagus akan menurunkan juga anak-anak yang bagus. Selain itu, bambu dapat hidup di segala iklim serta cuaca. Sifatnya ini menjadi lambang kemudahan dalam menempuh kehidupan. Oleh karena makna simbolis yang sangat bagus itu, gambar burung merak dan rumpun bambu sering digunakan sebagai ragam hias pada kain, kaca-kaca, dan kartu-kartu ucapan. Berikut ini dikemukakan contoh batik Semarang dengan motif merak dengan latar anyaman bambu, dan daun asam. Warna dasarnya kuning-oranye, dan motifnya berwarna coklat serta merah. Warna merah-oranye merupakan salah satu karakter batik tradisional Semarang.

Di Kota Semarang, juga ditemukan motif-motif batik yang mengekspresikan perpaduan antara motif batik vorstenlanden (daerah pedalaman/kerajaan Jogjakarta dan Surakarta) dan motif batik pesisir. Motif campuran ini dapat disaksikan pada produk-produk batik “Batikkerij Tan Kong Tien”. Perpaduan budaya ini dapat dipahami dengan mengingat bahwa keluarga Tan Kong Tien memang merupakan campuran antara orang Jogja dan Semarang, serta secara geografis letak Semarang dekat dengan Jogja, sehingga kedua unsur budaya itu tentu dapat saling mempengaruhi dan saling mengadaptasi.
Warna dasarnya tidak seperti warna batik Jogja yang cenderung kecoklatan atau warna sogan, tetapi lebih bervariasi dan menyala seperti hijau, biru, ungu, dan merah. Warna-warna ini juga menjadi ciri batik pesisir. Berikut ini disajikan beberapa contoh motif batik Semarang yang diproduksi oleh Tan Kong Tien.




Motif: Kupu-kupu dan buket bunga cempaka dengan latar nitik; warna dominan ungu;nama perusahaan: Tan Kong Tien (awal abad ke-20 – 1970-an), nama motif: Puspita Sari; diberi nama oleh Dewi Yuliati selaku peneliti.

























Perusahaan: Tan Kong Tin (awal abad ke-20 – 1970-an); motif: buket bunga cempaka dan kupu-kupu dengan latar kawung yang dipadu dengan parang rusak dan parang curigo; nama motif: Cempaka Rukmi; diberi nama oleh Dewi Yuliati selaku peneliti.





















Upaya Pengembangan
Berdasarkan kenyataan historis bahwa Kota Semarang ternyata memiliki potensi budaya dan ekonomi di bidang batik, tim peneliti dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro memiliki program pengembangan batik Semarang sebagai identitas budaya Kota Semarang. Beberapa kegiatan yang sudah dilaksanakan adalah: membuat desain motif batik Semarang berdasarkan motif batik tradisional Semarang, memberi saran kepada para perajin batik di Kota Semarang untuk membuat desain-desain dengan menampilkan icon-icon Kota Semarang (Batik Perdamaian, Batik Lawang Sewu dan lain-lain), menjalin kerja sama dengan Dinas Perindustrian Propinsi Jawa Tengah, dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kota Semarang, dan dengan PKK Kota Semarang.
Kini, salah satu program pengembangan sudah terealisasi. Kerjasama dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kota Semarang telah menghasilkan pelatihan membatik dengan motif Semarang bagi 20 orang peserta yang berasal dari Kampung Batik, Bugangan, dan Rejosari. Pelatihan dilaksanakan pada bulan Juni – Juli 2006 di Kampung Batik dengan tujuan untuk menumbuhkan semangat dan potensi membatik warga Kota Semarang, dan sekaligus untuk memberdayakan kembali Kampung Batik sebagai sentra kerajinan batik. Motif-motif batik yang diajarkan adalah motif-motif Semarang tempo dulu, dan juga motif-motif kontemporer dengan menonjolkan icon-icon Kota Semarang seperti Tugu Muda, Lawang Sewu, burung kuntul, Wisma Perdamaian, Gereja Blenduk, bukit dan laut. Semua motif hasil penelitian dan pengembangan diberi nama, agar lebih mudah dikenali dan dapat dijadikan sebagai identitas budaya Kota Semarang. Beberapa nama motif dapat disebut di sini: Merak Semawis, Merak Pertiwi, Merak Puspa Rukmi, Merak Kinasih, Merak Puspita, Merak Kusumo, Sriti Rejeki, Samodra Amengku Negari, Puspa Lestari, dan lain-lain.
Dari pelatihan membatik tersebut, kini telah muncul perajin batik yang telah berhasil mendirikan usaha mandiri dengan nama perusahaan “Batik Semarang Indah” di Kampung Batik. Di bawah ini ditampilkan contoh motif yang telah diproduksi oleh “Batik Semarang Indah”.
Nama motif: Merak Puspa Rukmi; diberi nama oleh Dewi Yuliati, selaku peneliti dan advicer; diproduksi oleh “Batik Semarang Indah”, Kampung Batik.


Simpulan dan Saran
Dari penelusuran jejak-jejak sejarah dan motif Batik Semarang dapat disimpulkandisarankan hal-hal penting sebagai berikut:
Pertama, Batik Semarang telah lahir sejalan dengan kebutuhan masyarakat Kota Semarang akan bahan sandang dengan motif atau corak yang disesuaikan dengan rasa, karsa, dan daya cipta para perajin atau masyarakat pendukungnya.
Ke dua, Batik Semarang merupakan warisan budaya yang khas dan unik, sehingga sangat potensial sebagai identitas budaya Kota Semarang. Oleh karena itu, warga Kota Semarang seharusnya mampu untuk melestarikan dan mengembangkananya dengan spirit baru serta nilai-nilai baru. Spririt dan nilai-nilai baru itu dapat dibingkai dalam sistem manajemen yang profesional, yang meliputi: pengembangan sistem produksi (mencakup: pendanaan, peralatan, bahan-bahan dasar, sumber daya manusia, desain-desain, serta lokasi usaha), peningkatan sistem promosi dan pemasarannya.
Ke tiga, semua upaya yang dilakukan untuk mengungkap sejarah dan menghidupkan kembali batik Semarang menunjukkan bahwa warga Kota Semarang masih peduli dengan kekayaan budaya lokal. Semangat dan tindakan mencintai budaya lokal sangat diperlukan untuk memperkokoh identitas dan kepribadian bangsa agar tidak terkikis oleh perluasan budaya global.
Ke empat, seluruh warga Kota Semarang seharusnya mampu mengangkat potensi batik Semarang sebagai salah satu identitas budayanya, karena sesungguhnya potensi budaya ini sangat berguna untuk mendukung peningkatan ekonomi dan pariwisata di Kota Semarang, serta untuk penguatan kepribadian bangsa.
Ke lima, Pemerintah Kota Semarang seharusnya dapat memberikan perlindungan hukum bagi desain-desain motif batik Semarang melalui HAKI, untuk mencegah kemungkinan pengambilalihan atau pembajakan motif oleh pihak-pihak lain atau negara-negara lain.























No comments:

Post a Comment